Friday 2 December 2011

Kaum Profesional VS Klien



            Siapa yang tak tahu ‘dokter’ ? Tentunya sebutan dokter tidak asing bagi kita. Dokter adalah orang yang berjasa menyembuhkan pasien. Benarkah dokter memang hanya berniat menolong pasien? Atau justru menjual jasa?
Mengutip dari buku “ Landasan Etika Profesi” karangan Daryl Koehn, kaum “profesional” merupakan istilah yang dialektis. Para sosiolog, ahli sejarah, dan filosof sama-sama mengerti bahwa kaum profesional bertindak atas nama manusia lain atau klien. Sama seperti dokter yang bekerja atas nama pasien. Kaum profesional dianggap menjadi agen yang dapat dipercaya bagi klien mereka karena mereka itu ahli atau mereka merupakan pemberi layanan yang dapat dikatakan “demi bayaran” menaati kehendak para klien. Begitu juga dengan profesi dokter. Dokter dipercaya untuk menyembuhkan pasien, namun selain itu dokter juga sebagai layanan penjual jasa terhadap pasien. Dapat dikatakan dokter merupakan kaum professional.
Banyak dokter yang menyatakan bahwa dirinya bekerja hanya semata-mata untuk menolong orang yang sakit. Dokter membutuhkan kebebasan untuk menampilkan keahlian mereka yang dianggap baik oleh mereka, bukan dianggap baik oleh pasien.
Tentu masih teringat di benak kita tentang kasus Prita Mulyasari yang cukup menghebohkan dunia kedokteran. Ya, Prita Mulyasari, seorang wanita yang sempat mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, Banten, gara-gara curhatnya melalui surat elektronik yang menyebar di internet mengenai layanan RS Omni Internasional Alam Sutera. Isi e-mail yang dikirimkan Prita Mulyasari disebut sebagai pencemaran nama baik terhadap RS Omni Internasional. Dalam kasus ini, Prita sebagai pasien hanya memberikan complain terhadap dokter yang menanganinya atau dapat dikatakan seorang klien memberikan complain terhadap kaum professional.
      Prita Mulyasari merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang mempercayakan kesehatannya kepada dokter. Sehingga saat Prita merasa dirinya sakit panas tinggi dan pusing kepala, Prita memeriksakan diri ke RS Omni Internasional pada tanggal 7 Agustus 2008 tepatnya jam 20.30 WIB. Yang Prita tau, sebagai orang awam, bahwa RS Omni yang bertaraf internasional pastinya juga mempunyai dokter yang “hebat” pula. Mulanya dokter mengatakan bahwa Prita terkena demam berdarah dan harus rawat inap. Karena hasil lab awal trombosit Prita hanya 27.000 yang seharusnya normal trombosit manusia adalah 200.000. Sekali lagi karena Prita merasa “awam” sehingga Prita percaya begitu saja. Sesuai dengan konsep yang dipaparkan oleh Daryl Koehn bahwa untuk membantu klien, kaum professional harus memiliki kebebasan untuk mempraktikkan keahlian mereka, seperti yang mereka anggap baik dan bukan seperti yang dianggap baik oleh klien. Sehingga di sini, Prita hanya menurut pada dokter sebagai kaum professional. Memang jika dilihat menurut pandangan atau konsep Koehn, tak ada yang salah secara moral jika membantu klien yang tidak dapat menolong diri sendiri. Ketidakmampuan klien adalah fakta, dan mungkin lebih baik jika klien belajar untuk menolong diri sendiri, tetapi pengetahuan yang mereka butuhkan untuk itu tidaklah mudah diperoleh. Tentunya tidak mungkin apabila Prita Mulyasari di sini contohnya akan mengobati dirinya sendiri sedangkan Prita sendiri tidak mempunyai keahlian dalam bidang kedokteran. Dokter, sekalipun mereka adalah ahli dalam bidang kesehatan, tidak akan mengobati dirinya sendiri ketika sakit. Hal ini menunjukkan bahwa orang professional juga membutuhkan orang professional yang lainnya.
Prita sebagai kaum awam hanya dapat menuruti apa kata dokter yang menanganinya. Prita mendapatkan infuse dan suntikan berkali-kali tanpa persetujuan dari pihak keluarganya. Dan setelah mendapatkan suntikan berkali-kali justru tangan kanan dan kiri Prita membengkak. Dan dokter yang menangani Prita tak pernah memberikan penjelasan apa-apa kepada Prita tentang sakit yang dialami Prita. Setiap pertanyaan Prita selalu dijawab dengan “ya pasti demam berdarah”. Kasus ini cukup menarik, karena dokter yang menangani Prita seolah menerapkan konsep-konsep dari kaum professional bahwa klien tidak tahu tentang apa saja yang perlu dilakukan dalam tindakan itu. Namun, dalam profesi tidak seperti dalam dagang, “menolong klien” tidak sama dengan “menjamin hasil yang dicari klien” itu artinya dalam kasus ini Dokter memberikan pengobatan pada Prita namun Prita tidak perlu tahu tentang cara-cara pengobatan tersebut. Seperti halnya pada pendapat bahwa kaum professional hanya “menolong klien” bukan “menjamin hasil yang dicari klien”, ini seolah mengartikan bahwa kaum professional tidak bertanggung jawab atas perbuatannya. Dapat dilogika, apabila dokter yang menangani Prita bertujuan “menolong” tentunya juga bertujuan “menyembuhkan”. Namun justru yang terjadi sebaliknya, Prita Mulyasari justru menderita sakit yang bertambah parah. Dari pihak dokter maupun rumah sakit tetap tidak ada yang mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada Prita.
Puas atau tidaknya Prita tentang pelayanan dokter terhadap dirinya bukanlah merupakan ukuran utama apakah dokter sudah melakukan tindakan-tindakan yang dapat dipercaya atau tidak. Seperti menurut Willbert Moore : “Klien tidak dapat menilai apakah suatu tindakan telah dilakukan dengan benar atau suatu tindakan yang benar telah dilakukan” artinya Prita tidak dapat memastikan apakah dokter melakukan tindakan malpraktik terhadap dirinya atau sudah sesuai prosedur yang berlaku hanya Prita tidak mengetahuinya.
Namun di luar itu semua, ada hal yang terlupakan. Kecakapan kaum professional sebenarnya mengandung janji atas bantuan nyata terhadap klien. Sehingga di sini kaum professional tak bisa bertindak sesuka hati, karena klien dapat meminta atau dapat dikatakan menagih janji atas keahlian kaum professional tersebut. Sehingga apabila kemudian Prita mengajukan complain tentang pelayanan yang diberikan dokter terhadap dirinya, ini adalah tindakan yang wajar dari seorang klien yang menagih janji kaum professional.
E-mail dari Prita terhadap temannya merupakan cerita keluh kesahnya sebagai pasien di RS Omni Internasional, sehingga apabila dituntut sebagai pencemaran nama baik tentunya sangat tidak tepat karena itu sama saja dengan melanggar hak asasi pribadi Prita untuk mengeluarkan “unek-unek” yang dimilikinya.
Sebenarnya e-mail Prita tak perlu dibesar-besarkan apabila sebelumnya RS Omni Internasional telah berusaha menyelesaikan. Prita hanya berlaku sebagai pasien, atau dapat juga disebut orang awam yang tidak tahu menahu tentang dunia kesehatan, sehingga wajar apabila Prita selalu bertanya,bertanya dan bertanya tentang gangguan kesehatan yang dimilikinya. Dokter yang menangani Prita, sebagai kaum professional dalam bidang kesehatan melupakan satu prinsip penting yaitu seorang profesional harus menghindari terciptanya situasi yang memunculkan pertanyaan mengenai apakah mereka pertama-tama melayani klien atau kepentingan ekonomis para anggotanya. Sehingga wajar apabila kemudian Prita menduga adanya malpraktik dalam RS Omni Internasional. Biaya yang dikeluarkan Prita untuk berobat tidak sedikit. Namun apa yang didapatkan Prita ternyata tidak seimbang dengan uang yang dia keluarkan untuk berobat. Tentunya jika ada pasien yang mengalami seperti Prita akan beranggapan apabila dokter hanya ingin uang atau nilai ekonominya saja tanpa adanya pelayanan yang baik terhadap pasien. Melayani hanya sekedar melayani, tidak dengan sepenuh hati. Sehingga terkadang sering terjadi malpraktik terhadap pasien.
Membuktikan niat baik terhadap klien menjadi lebih sulit bila suatu profesi, yang secara intrinsik mengejar tujuan, tidak menunjang kesejahteraan klien. Mungkin konsep ini memang susah dipraktikkan karena niat baik dokter terkadang dimaknai berbeda oleh pasien. Menyelaraskan persepsi antara dokter dengan pasien bukan persoalan mudah. Prita mengalaminya. Tidak mudah bagi Prita untuk mempercayai RS Omni Internasional kembali setelah apa yang Prita dapatkan dari pelayanan yang buruk RS Omni Internasional. Apalagi ditambah dengan adanya tuntutan dari RS Omni terhadap diri Prita tentang pencemaran nama baik yang akhirnya membuat Prita harus dipenjara selama 21 hari dan saat itu Prita diharuskan membayar Rp 204.000.000. Dukungan masyarakat datang untuk membela Prita, menuntut kebebasan Prita dengan bentuk Koin Peduli Prita.
Tampaknya memang ada hubungan yang erat sekali antara motivasi profesional dan kepercayaan klien. Kaum profesional harus menyatakan kesetiaan pada kebaikan agar pantas mendapat kepercayaan. Kepercayaan seorang klien (dalam hal ini pasien) sangat mempengaruhi kinerja seorang professional (dokter). Seorang professional harus bekerja sesuai aturan bekerja. Seorang dokter harus mengemban sumpah dokter yang dia ucapkan sebelum dia bekerja. Jadi apabila terjadi malpraktik berarti dokter yang bersangkutan tidak bisa dianggap lagi sebagai seorang professional. Orang ahli, iya. Orang professional,tidak.
Keahlian pada hakikatnya memerlukan kepercayaan klien sekurang-kurangnya dengan lima cara :
            Masalah pertama, sifat tidak dapat dipercaya yang melekat pada keahlian. Kebaikan klien merupakan sasaran kaum professional. Ya, seperti halnya antara dokter dan pasien. Apabila pasien selalu menurut dan tidak rewel tentunya akan membuat dokter tidak kesulitan dalam memberikan pelayanan. Namun, apabila pasien selalu bertanya dan mengeluh, ini akan membuat dokter akan menjadi malas dalam memberikan pelayanan terbaiknya, karena perlu diingat bahwa pasien tidak hanya satu orang, melainkan banyak orang.
Masalah kedua, klien yang lenyap. Jika profesional hanya seorang ahli, ia tidak punya ikatan khusus apa pun dengan klien. Jika seorang dokter hanya menyandang gelar S. Kedok, tentunya belum ada orang yang ingin ditangani dokter tersebut karena belum dapat percaya terhadap dokter yang hanya menyandang gelar S.Kedok. Contoh lainnya adalah apabila dokter tersebut sudah satu kali melakukan malpraktik walaupun tanpa disengaja, akan membuat pasien tidak akan percaya lagi pada dokter yang bersangkutan. Di sini pasien akan merasa menjadi korban kelalaian seorang dokter.
Masalah ketiga, kekacauan praktik. Kaum profesional yang diharapkan bisa melayani mereka akhirnya malah bekerja berlawanan dengan tujuan dan bahkan merugikan klien yang sama. Ini berarti bahwa dokter yang diharapkan pasien untuk menyembuhkan pasien justru hanya mengutamakan uang dan merugikan pasien itu sendiri dengan malpraktik misalnya. Seperti halnya pada kasus Prita Mulyasari yang hanya ingin kesembuhan namun justru bertambah sakit saat di rawat di RS Omni Internasional. Apalagi dengan tidak adanya transparansi hasil lab tentang Prita. Hal ini menyebabkan Prita tidak percaya kepada RS Omni Internasional.
Masalah keempat, penghancuran peran-peran professional yang khas. Seorang professional akan kehilangan otoritas karena ia tidak akan dipanggil oleh klien untuk mengadakan atau menciptakan tindakan demi kepentingan mereka. Begitu pula dengan RS Omni Internasional. Setelah adanya e-mail yang ditulis oleh Prita, banyak orang akan berpikir dua kali jika hendak menjalani rawat inap atau sekedar memeriksakan kesehatan. Tentunya hal ini juga mengancam reputasi dokter yang bekerja di RS Omni Internasional. Mungkin yang melakukan malpraktik hanya satu, namun semua dokter akan terkena imbas karena tidak mendapatkan kepercayaan dari pasien.
Masalah kelima, kehancuran para langganan organic. Jika kita mengambil kasus yang paling baik dan menempatkan para ahli yang dengan cakap selalu menggunakan pengetahuan mereka untuk kebaikan klien, keahlian masih belum akan memberi landasan pada otoritas professional. Seorang dokter yang professional (tidak hanya mempunyai keahlian) tentunya akan selalu berusaha untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasien, demi kebaikan pasien, dan demi kesembuhan pasien. Dokter yang hanya ahli saja tanpa menggunakan sikap profesionalnya belum akan mendapatkan kepercayaan dari pasien.
Keahlian tidak memberikan otoritas. Keahlian justru menghancurkannya dengan membiarkan para ahli menetapkan agenda mereka sendiri, dengan menggeser klien dari sudut moral hubungan profesional-klien. Seperti halnya di sini, dokter tanpa menunjukan sikap profesionalnya justru akan membuat hubungan dengan pasiennya akan memburuk. Dapat dilihat dari kasus yang dialami Prita. Tanpa adanya kejujuran dari pihak RS dan dokter yang menanganinya, Prita justru semakin berapi-api untuk menuntut RS Omni Internasional.
Jika kaum profesional mau mempertahankan kepercayaan klien, praktik keahlian mereka harus mempertimbangkan siapa kliennya dan harus mengambil prinsip dari sifat-sifat kebaikan klien serta mengabdikan hidupnya. Seorang dokter apabila sudah mengucapkan sumpah dokter, harus berjanji pada diri sendiri untuk mengabdikan hidupnya dalam memberikan pelayanan terhadap pasien sehingga dokter tersebut dengan sendirinya akan mendapatkan kepercayaan dari pasien.





























DAFTAR PUSTAKA

1.      Koehn, Daryl. 2000. Landasan Etika Profesi. Yogyakarta : Penerbit Kanisius
2.      Margianto, Heru. Rabu, 3 Juni 2009 | 11:12 WIB. Inilah Curhat yang Membawa Prita ke Penjara (http://megapolitan.kompas.com/read/2009/06/03/1112056/inilah.curhat.yang.membawa.prita.ke.penjara , tanggal akses : 29 April 2011)
3.      Pambagio, Agus. Senin, 1 Februari 2010| 08:46 WIB. Lagi, Konsumen vs RS Internasional














No comments:

Post a Comment